Indahnya Membangun Mahligai Rumah Tangga
Nikah berarti janji yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya yang menyebabkan hak dan kewajiban masing-masing. Sedangkan berdasarkan Undang-undang Pernikahan RI (UUPRI) Nomor 1 Tahun 1974 adalah: “Perkawinan atau nikah ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Para jago fikih sependapat bahwa aturan pernikahan tidak sama di antara orang mukallaf. Dilihat dari kesiapan ekonomi, fisik, mental ataupun akhlak, aturan nikah sanggup menjadi wajib, sunah, mubah, haram, dan makruh.
A. Menganalisis dan Mengevaluasi Ketentuan Pernikahan dalam Islam
Pernikahan yakni sunnatullah yang berlaku umum bagi semua makhluk Nya. Al- Qurān menyebutkan dalam Q.S. adz-Záriyat /51:49.
(wamin kulli syay-in khalaqnaa zawjayni la'allakum tadzakkaruuna)
Artinya :
Allah Swt. mensyariatkan pernikahan sebagaimana difirmankan dalam Q.S. an-Nahl/16:72.
(waallaahu ja'ala lakum min anfusikum azwaajan waja'ala lakum min azwaajikum baniina wahafadatan warazaqakum mina alththhayyibaati afabialbaathili yu/minuuna wabini'mati allaahi hum yakfuruuna)
Artinya:
Allah Swt. akan melapangkan rezeki yang baik dan halal untuk hidup berumah tangga, sebagaimana dijanjikan Allah Swt. dalam firman-Nya:
(wa-ankihuu al-ayaamaa minkum waalshshaalihiina min 'ibaadikum wa-imaa-ikum in yakuunuu fuqaraa-a yughnihimu allaahu min fadhlihi waallaahu waasi'un 'aliimun)
Artinya :
Rasulullah saw. juga banyak menganjurkan kepada para cukup umur yang sudah bisa untuk segera menikah biar kondisi jiwanya lebih sehat, menyerupai dalam hadis berikut.
Artinya :
B. Prinsip-Prinsip Pernikahan dalam Islam
Secara bahasa, arti “nikah” berarti “mengumpulkan, menggabungkan, atau menjodohkan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”nikah” diartikan sebagai “perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi) atau “pernikahan”.
Sedang berdasarkan syari’ah, “nikah” berarti janji yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya yang menyebabkan hak dan kewajiban masing-masing. Dalam Undang-undang Pernikahan RI (UUPRI) Nomor 1 Tahun 1974, definisi atau pengertian perkawinan atau pernikahan ialah “ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pernikahan sama artinya dengan perkawinan. Allah Swt. berfirman:
(wa-in khiftum allaa tuqsithuu fii alyataamaa fainkihuu maa thaaba lakum mina alnnisaa-i matsnaa watsulaatsa warubaa'a fa-in khiftum allaa ta'diluu fawaahidatan aw maa malakat aymaanukum dzaalika adnaa allaa ta'uuluu)
Artinya :
1. Tujuan Pernikahan
a. Untuk memenuhi tuntutan naluri insan yang asasi,
Rasulullah saw., bersabda: “Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi Muhammad saw., ia bersabda:
Artinya:
b. Untuk mendapat ketenangan hidup
Allah Swt. berfirman:
(wamin aayaatihi an khalaqa lakum min anfusikum azwaajan litaskunuu ilayhaa waja'ala baynakum mawaddatan warahmatan inna fii dzaalika laaayaatin liqawmin yatafakkaruuna)
Artinya:
c. Untuk membentengi akhlak
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
d. Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
e. Untuk mendapat keturunan yang saleh
Allah Swt. berfirman:
(waallaahu ja'ala lakum min anfusikum azwaajan waja'ala lakum min azwaajikum baniina wahafadatan warazaqakum mina alththhayyibaati afabialbaathili yu/minuuna wabini'mati allaahi hum yakfuruuna)
Artinya:
f. Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami
Firman Allah Swt.:
(alththhalaaqu marrataani fa-imsaakun bima'ruufin aw tasriihun bi-ihsaanin walaa yahillu lakum an ta/khudzuu mimmaa aataytumuuhunna syay-an illaa an yakhaafaa allaa yuqiimaa huduuda allaahi fa-in khiftum allaa yuqiimaa huduuda allaahi falaa junaaha 'alayhimaa fiimaa iftadat bihi tilka huduudu allaahi falaa ta'taduuhaa waman yata'adda huduuda allaahi faulaa-ika humu alzhzhaalimuuna)
Artinya :
2. Hukum Pernikahan
Para ulama menyebutkan bahwa nikah diperintahkan lantaran sanggup mewujudkan maslahat, memelihara diri, kehormatan, mendapat pahala dan lain-lain. Para jago fikih sependapat bahwa aturan pernikahan tidak sama penerapannya kepada semua mukallaf lantaran itu aturan nikah bisa menjadi wajib, sunah, mubah, haram, dan makruh. Penjelasannya sebagai berikut.
3. Mahram (Orang yang Tidak Boleh Dinikahi)
Wanita yang haram dinikahi disebut juga mahram nikah. mahram terbagi kepada dua;
Berdasarkan Q.S. an-Nisa’ /4:23-24) mahram sanggup dibagi menjadi empat kelompok, yaitu sebagai berikut.
Aktivitas Siswa
Buatlah daftar nama keluarga dan kerabat kalian yang tidak boleh dinikahi (mahram), baik lantaran keturunan, pernikahan, ataupun susuan :
4. Rukun dan Syarat Pernikahan
Para jago fikih berbeda pendapat dalam memilih rukun dan syarat pernikahan. Jumhur ulama sebagaimana juga mażhab Syafi’i mengemukakan bahwa rukun nikah ada lima menyerupai di bawah ini
a. Calon suami, syarat-syaratnya sebagai berikut.
b. Calon istri, syaratnya adalah.
c. Wali
Wali, yaitu bapak kandung mempelai wanita, peserta wasiat atau kerabat terdekat, dan seterusnya sesuai dengan urutan ashabah perempuan tersebut, atau orang bijak dari keluarga wanita, atau pemimpin setempat, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada nikah, kecuali dengan wali.” Umar bin Khattab ra. berkata, “Wanita tidak boleh dinikahi, kecuali atas izin walinya, atau orang bijak dari keluarganya atau seorang pemimpin”. Syarat wali adalah.
1) orang yang dikehendaki, bukan orang yang dibenci,
2) laki-laki, bukan perempuan atau banci,
3) mahram si wanita,
4) baligh, bukan anak-anak,
5) berakal, tidak gila,
6) adil, tidak fasiq,
7) tidak terhalang wali lain,
8) tidak buta,
9) tidak berbeda agama,
10) merdeka, bukan budak.
d. Dua orang saksi.
Firman Allah Swt.: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian”. (Q.S. at-Țalaq/65:2). Syarat saksi yakni sebagai berikut.
e. Sighat (Ijab Kabul)
Sighat (Ijab Kabul) yaitu perkataan dari mempelai laki-laki atau wakilnya ketika janji nikah. Syarat shighat yakni sebagai berikut.
5. Pernikahan yang Tidak Sah
Di antara pernikahan yang tidak sah dan tidak boleh oleh Rasulullah saw. yakni sebagai berikut.
C. Pernikahan Menurut Undang-Undang Perkawinan Indonesia (UU No.1 Tahun 1974)
Dalam rangka tertib aturan dan tertib administrasi, maka tatacara pelaksanaan pernikahan harus mengikuti mekanisme sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ihwal Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Thn 1974.
Adapun pencatatan Pernikahan sebagaimana termaktub dalam BAB II pasal 2 yakni dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berada di wilayah masing-masing. PPN yakni satu-satunya pejabat yang berwenang untuk mencatat perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan Islam di wilayahnya. Artinya, siapapun yang ingin melangsungkan perkawinan berdasarkan aturan Islam, berada di bawah pengawasan PPN.
D. Hak dan Kewajiban Suami Istri
1. Kewajiban bersama suami dan istri, yaitu sebagai berikut.
2. Kewajiban Suami terhadap Istri
3. Kewajiban Istri terhadap Suami
E. Hikmah Pernikahan
Nikah disyariatkan Allah Swt. melalui al-Qurān dan sunah Rasul-Nya, menyerupai dalam uraian di atas, mengandung pesan tersirat yang sangat besar untuk keberlangsungan hidup manusia, di antaranya sebagai berikut.
F. Menerapkan Perilaku Mulia
sikap mulia harus diterapkan dalam kehidupan rumah tangga kita, antara lain sebagai berikut.
Para jago fikih sependapat bahwa aturan pernikahan tidak sama di antara orang mukallaf. Dilihat dari kesiapan ekonomi, fisik, mental ataupun akhlak, aturan nikah sanggup menjadi wajib, sunah, mubah, haram, dan makruh.
A. Menganalisis dan Mengevaluasi Ketentuan Pernikahan dalam Islam
Pernikahan yakni sunnatullah yang berlaku umum bagi semua makhluk Nya. Al- Qurān menyebutkan dalam Q.S. adz-Záriyat /51:49.
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ﴿ ٤٩
(wamin kulli syay-in khalaqnaa zawjayni la'allakum tadzakkaruuna)
Artinya :
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kau mengingat akan kebesaran Allah Swt.“
Allah Swt. mensyariatkan pernikahan sebagaimana difirmankan dalam Q.S. an-Nahl/16:72.
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ ﴿ ٧٢
(waallaahu ja'ala lakum min anfusikum azwaajan waja'ala lakum min azwaajikum baniina wahafadatan warazaqakum mina alththhayyibaati afabialbaathili yu/minuuna wabini'mati allaahi hum yakfuruuna)
Artinya:
“ Allah Swt. menjadikan dari kau istri-istri dari jenis kau sendiri dan menjadikan bagimu dan istri-istri kau itu belum dewasa dan cucu-cucu dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah Swt.”
Allah Swt. akan melapangkan rezeki yang baik dan halal untuk hidup berumah tangga, sebagaimana dijanjikan Allah Swt. dalam firman-Nya:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿ ٣٢﴾
(wa-ankihuu al-ayaamaa minkum waalshshaalihiina min 'ibaadikum wa-imaa-ikum in yakuunuu fuqaraa-a yughnihimu allaahu min fadhlihi waallaahu waasi'un 'aliimun)
Artinya :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah Swt. akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Swt. Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” ( Q.S. an-Nμr/24:32).
Rasulullah saw. juga banyak menganjurkan kepada para cukup umur yang sudah bisa untuk segera menikah biar kondisi jiwanya lebih sehat, menyerupai dalam hadis berikut.
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
Artinya :
“Wahai para pemuda! Siapa saja di antara kalian yang sudah bisa maka menikahlah, lantaran pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Jika belum bisa maka berpuasalah, lantaran berpuasa sanggup menjadi benteng (dari gejolak nafsu)”. (¦R. Al-Bukhari dan Muslim).
B. Prinsip-Prinsip Pernikahan dalam Islam
Secara bahasa, arti “nikah” berarti “mengumpulkan, menggabungkan, atau menjodohkan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”nikah” diartikan sebagai “perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi) atau “pernikahan”.
Sedang berdasarkan syari’ah, “nikah” berarti janji yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya yang menyebabkan hak dan kewajiban masing-masing. Dalam Undang-undang Pernikahan RI (UUPRI) Nomor 1 Tahun 1974, definisi atau pengertian perkawinan atau pernikahan ialah “ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pernikahan sama artinya dengan perkawinan. Allah Swt. berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا ﴿ ٣
(wa-in khiftum allaa tuqsithuu fii alyataamaa fainkihuu maa thaaba lakum mina alnnisaa-i matsnaa watsulaatsa warubaa'a fa-in khiftum allaa ta'diluu fawaahidatan aw maa malakat aymaanukum dzaalika adnaa allaa ta'uuluu)
Artinya :
“Dan kalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kau mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kau senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian kalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kau miliki. Yang demikian itu yakni lebih bersahabat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S. an-Nisa/4:3).
1. Tujuan Pernikahan
a. Untuk memenuhi tuntutan naluri insan yang asasi,
Rasulullah saw., bersabda: “Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi Muhammad saw., ia bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Artinya:
“wanita dinikahi lantaran empat hal: lantaran hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan lantaran agamanya. Nikahilah perempuan lantaran agamanya, kalau tidak kau akan celaka” (¦R. Al-Bukhari dan Muslim).
b. Untuk mendapat ketenangan hidup
Allah Swt. berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ﴿ ٢١
(wamin aayaatihi an khalaqa lakum min anfusikum azwaajan litaskunuu ilayhaa waja'ala baynakum mawaddatan warahmatan inna fii dzaalika laaayaatin liqawmin yatafakkaruuna)
Artinya:
”Dan di antara gejala (kebesaran)-Nya ialah Dia membuat pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, biar kau cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat gejala (kebesaran Allah Swt.) bagi kaum yang berpikir”. (Q.S. ar-Rμm/30:21).
c. Untuk membentengi akhlak
Rasulullah saw. bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
Artinya:
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, lantaran nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), lantaran shaum itu sanggup membentengi dirinya”. (¦R. al-Bukhari dan Muslim)
d. Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. bersabda:
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
Artinya:
“Jika kalian bersetub*h dengan istri-istri kalian termasuk sedekah!”. Mendengar sabda Rasulullah saw. para sahabat keheranan dan bertanya: “Wahai Rasulullah saw., seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala?” Nabi Muhammad saw. menjawab, “Bagaimana berdasarkan kalian kalau mereka (para suami) bersetub*h dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa? “ Jawab para shahabat, ”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi, “Begitu pula kalau mereka bersetub*h dengan istrinya (di daerah yang halal), mereka akan memperoleh pahala!”. (HR. Muslim).
e. Untuk mendapat keturunan yang saleh
Allah Swt. berfirman:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ ﴿ ٧٢&
(waallaahu ja'ala lakum min anfusikum azwaajan waja'ala lakum min azwaajikum baniina wahafadatan warazaqakum mina alththhayyibaati afabialbaathili yu/minuuna wabini'mati allaahi hum yakfuruuna)
Artinya:
“Allah Swt. telah menjadikan dari diri-diri kau itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu belum dewasa dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah Swt.?”. (Q.S. an-
Nahl/16:72).
f. Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami
Firman Allah Swt.:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿ ٢٢٩
(alththhalaaqu marrataani fa-imsaakun bima'ruufin aw tasriihun bi-ihsaanin walaa yahillu lakum an ta/khudzuu mimmaa aataytumuuhunna syay-an illaa an yakhaafaa allaa yuqiimaa huduuda allaahi fa-in khiftum allaa yuqiimaa huduuda allaahi falaa junaaha 'alayhimaa fiimaa iftadat bihi tilka huduudu allaahi falaa ta'taduuhaa waman yata'adda huduuda allaahi faulaa-ika humu alzhzhaalimuuna)
Artinya :
Talaq (yang sanggup dirujuki) dua kali, sesudah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kau mengambil kembali dari sesuatu yang telah kau berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan sanggup menjalankan hukum-hukum Allah Swt., maka tidak ada dosa atas keduanya ihwal bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukumhukum Allah Swt., maka janganlah kau melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah Swt. mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Q.S. al-Baqarah/2:229).
2. Hukum Pernikahan
Para ulama menyebutkan bahwa nikah diperintahkan lantaran sanggup mewujudkan maslahat, memelihara diri, kehormatan, mendapat pahala dan lain-lain. Para jago fikih sependapat bahwa aturan pernikahan tidak sama penerapannya kepada semua mukallaf lantaran itu aturan nikah bisa menjadi wajib, sunah, mubah, haram, dan makruh. Penjelasannya sebagai berikut.
- Wajib, yaitu bagi orang yang telah bisa baik fisik, mental, ekonomi maupun etika untuk melaksanakan pernikahan, mempunyai harapan untuk menikah, dan kalau tidak menikah, maka dikhawatirkan akan jatuh pada perbuatan maksiat
- Sunnah, yaitu bagi orang yang telah mempunyai harapan untuk menikah namun tidak dikhawatirkan dirinya akan jatuh kepada maksiat, sekiranya tidak menikah.
- Mubah, bagi yang bisa dan kondusif dari fitnah, tetapi tidak membutuhkannya atau tidak mempunyai syahwat sama sekali dan mubah bagi yang bisa menikah dengan tujuan hanya sekedar untuk memenuhi hajatnya atau bersenang-senang, tanpa ada niat ingin keturunan atau melindungi diri dari yang haram
- Haram, yaitu bagi orang yang yakin bahwa dirinya tidak akan bisa melaksanakan kewajiban-kewajiban pernikahan, baik kewajiban yang berkaitan dengan korelasi seksual maupun berkaitan dengan kewajiban-kewajiban lainnya.
- Makruh, yaitu bagi seseorang yang bisa menikah tetapi dia khawatir akan menyakiti perempuan yang akan dinikahinya, atau menzalimi hak-hak istri dan buruknya pergaulan yang dia miliki dalam memenuhi hak-hak manusia, atau tidak minat terhadap perempuan dan tidak mengharapkan keturunan..
3. Mahram (Orang yang Tidak Boleh Dinikahi)
Wanita yang haram dinikahi disebut juga mahram nikah. mahram terbagi kepada dua;
- Pertama mahram muabbad (wanita diharamkan untuk dinikahi selama-lamanya) seperti: keturunan, satu susuan, mertua perempuan, anak tiri kalau ibunya sudah dicampuri, bekas menantu perempuan, dan bekas ibu tiri.
- Kedua mahram gair muabbad yakni mahram alasannya yakni menghimpun dua perempuan yang statusnya bersaudara, contohnya saudara sepersusuan abang dan adiknya. Hal ini boleh dinikahi tetapi sesudah yang satu statusnya sudah bercerai atau meninggal dunia. Yang lain dengan alasannya yakni istri orang dan alasannya yakni iddah.
Berdasarkan Q.S. an-Nisa’ /4:23-24) mahram sanggup dibagi menjadi empat kelompok, yaitu sebagai berikut.
Mahram Karena Keturunan |
---|
|
Mahram Karena Pernikahan |
|
Mahram Karena Persusuan |
|
Mahram Karena Dikumpul/Dimadu |
|
Buatlah daftar nama keluarga dan kerabat kalian yang tidak boleh dinikahi (mahram), baik lantaran keturunan, pernikahan, ataupun susuan :
4. Rukun dan Syarat Pernikahan
Para jago fikih berbeda pendapat dalam memilih rukun dan syarat pernikahan. Jumhur ulama sebagaimana juga mażhab Syafi’i mengemukakan bahwa rukun nikah ada lima menyerupai di bawah ini
a. Calon suami, syarat-syaratnya sebagai berikut.
- Bukan mahram si wanita, calon suami bukan termasuk yang haram dinikahi lantaran adanya korelasi nasab atau sepersusuan.
- Orang yang dikehendaki, yakni adanya keri«±an dari masingmasing pihak. Dasarnya yakni hadis dari Abu Hurairah r.a, yaitu: ”Dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta izinnya.” (HR. al- Bukhari dan Muslim).
- Mu’ayyan (beridentitas jelas), harus ada kepastian siapa identitas mempelai laki-laki dengan menyebut nama atau sifatnya yang khusus.
b. Calon istri, syaratnya adalah.
- Bukan mahram si laki-laki.
- Terbebas dari halangan nikah, misalnya, masih dalam masa iddah atau berstatus sebagai istri orang.
c. Wali
Wali, yaitu bapak kandung mempelai wanita, peserta wasiat atau kerabat terdekat, dan seterusnya sesuai dengan urutan ashabah perempuan tersebut, atau orang bijak dari keluarga wanita, atau pemimpin setempat, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada nikah, kecuali dengan wali.” Umar bin Khattab ra. berkata, “Wanita tidak boleh dinikahi, kecuali atas izin walinya, atau orang bijak dari keluarganya atau seorang pemimpin”. Syarat wali adalah.
1) orang yang dikehendaki, bukan orang yang dibenci,
2) laki-laki, bukan perempuan atau banci,
3) mahram si wanita,
4) baligh, bukan anak-anak,
5) berakal, tidak gila,
6) adil, tidak fasiq,
7) tidak terhalang wali lain,
8) tidak buta,
9) tidak berbeda agama,
10) merdeka, bukan budak.
d. Dua orang saksi.
Firman Allah Swt.: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian”. (Q.S. at-Țalaq/65:2). Syarat saksi yakni sebagai berikut.
- Berjumlah dua orang, bukan budak, bukan wanita, dan bukan orang fasik.
- Tidak boleh merangkap sebagai saksi walaupun memenuhi kualifikasi sebagai saksi.
- Sunnah dalam keadaan rela dan tidak terpaksa.
e. Sighat (Ijab Kabul)
Sighat (Ijab Kabul) yaitu perkataan dari mempelai laki-laki atau wakilnya ketika janji nikah. Syarat shighat yakni sebagai berikut.
- Tidak tergantung dengan syarat lain.
- Tidak terikat dengan waktu tertentu.
- Boleh dengan bahasa asing.
- Dengan memakai kata “tazwij” atau “nikah”, tidak boleh dalam bentuk kinayah (sindiran), lantaran kinayah membutuhkan niat sedang niat itu sesuatu yang abstrak.
- Qabul harus dengan ucapan “Qabiltu nikahaha/tazwijaha” dan boleh didahulukan dari ijab.
5. Pernikahan yang Tidak Sah
Di antara pernikahan yang tidak sah dan tidak boleh oleh Rasulullah saw. yakni sebagai berikut.
- Pernikahan Mut`ah, yaitu pernikahan yang dibatasi untuk jangka waktu tertentu, baik sebentar ataupun lama. Dasarnya yakni hadis berikut: “Bahwa Rasulullah saw. melarang pernikahan mut’ah serta daging keledai kampung (jinak) pada ketika Perang Khaibar. (¦R. Muslim).
- Pernikahan syighar, yaitu pernikahan dengan persyaratan tukar barang tanpa dukungan mahar. Dasarnya yakni hadis berikut. “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang nikah syighar. Adapun nikah syighar yaitu seorang bapak menikahkan seseorang dengan putrinya dengan syarat bahwa seseorang itu harus menikahkan dirinya dengan putrinya, tanpa mahar di antara keduanya.” (¦R. Muslim)
- Pernikahan muhallil, yaitu pernikahan seorang perempuan yang telah ditalak tiga oleh suaminya yang akhirnya diharamkan untuk rujuk kepadanya, kemudian perempuan itu dinikahi laki-laki lain dengan tujuan untuk menghalalkan dinikahi lagi oleh mantan suaminya. Abdullah bin Mas’ud berkata: “Rasulullah saw. melaknat muhallil dan muhallal lahu”. (¦R. at-Tirmiżi)
- Pernikahan orang yang ihram, yaitu pernikahan orang yang sedang melaksanakan ihram haji atau ‘umrah serta belum memasuki waktu tahallul. Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang sedang melaksanakan ihram tidak boleh menikah dan menikahkan.” (¦R. Muslim)
- Pernikahan dalam masa iddah, yaitu pernikahan di mana seorang lakilaki menikah dengan seorang perempuan yang sedang dalam masa iddah, baik lantaran perceraian ataupun lantaran meninggal dunia. Allah Swt. berfirman: “Dan janganlah kau ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya”. ( Q.S. al-Baqarah/2:235)
- Pernikahan tanpa wali, yaitu pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa seizin walinya. Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali.”
- Pernikahan dengan perempuan kafir selain wanita-wanita jago kitab, berdasarkan firman Allah Swt.: “Dan janganlah kau menikahi wanitawanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Q.S. al-Baqarah/2:221)
- Menikahi mahram, baik mahram untuk selamanya, mahram lantaran pernikahan atau lantaran sepersusuan.
C. Pernikahan Menurut Undang-Undang Perkawinan Indonesia (UU No.1 Tahun 1974)
Dalam rangka tertib aturan dan tertib administrasi, maka tatacara pelaksanaan pernikahan harus mengikuti mekanisme sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ihwal Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Thn 1974.
Adapun pencatatan Pernikahan sebagaimana termaktub dalam BAB II pasal 2 yakni dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berada di wilayah masing-masing. PPN yakni satu-satunya pejabat yang berwenang untuk mencatat perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan Islam di wilayahnya. Artinya, siapapun yang ingin melangsungkan perkawinan berdasarkan aturan Islam, berada di bawah pengawasan PPN.
D. Hak dan Kewajiban Suami Istri
1. Kewajiban bersama suami dan istri, yaitu sebagai berikut.
- Memelihara dan mendidik anak dengan sebaik-baiknya.
- Berbuat baik terhadap mertua, ipar dan kerabat lainnya baik dari suami atau isteri.
- Setia dalam korelasi rumah tangga dan memelihara keutuhannya dengan berusaha melaksanakan pergaulan secara bijaksana, rukun, tenang dan harmonis;
- Saling bantu membantu antara keduanya.
- Menjaga penampilan lahiriah dalam rangka merawat keutuhan cinta dan kasih sayang diantara keduanya. Perhatikan Q.S. at-Tahrim/66:6, Q.S. an-Nisa’/4:36 dan Q.S. al-Maidah/5:2
2. Kewajiban Suami terhadap Istri
- Menjadi pemimpin, memelihara dan membimbing keluarga lahir dan batin serta menjaga dan bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarganya (Q.S. at-Tahrim/66:6)
- Memberi nafkah, pakaian dan daerah tinggal kepada istri anak-anaknya sesuai dengan kemampuan yang diusahakan secara maksimal (Q.S.al- Baqarah/2:168 dan 172).
- Bergaul dengan isteri secara ma’ruf dan memperlakukan keluarganya dengan cara baik.
- Masing-masing anggota keluarganya, terutama suami dan isteri bertanggung jawab sesuai fungsi dan kiprahnya masing-masing.
- Memberi kebebasan berfikir dan bertindak kepada isteri sepanjang sesuai norma Islam, membantu tugas-tugas isteri serta tidak mempersulit kegiatan isteri.
3. Kewajiban Istri terhadap Suami
- Taat kepada perintah suami.. Istri yang setia kepada suaminya berarti telah mengimbangi kewajiban suaminya kepadanya.
- Selalu menjaga diri dan kehormatan keluarga. Menjaga kehormatan diri dan rumah tangga, yakni bilamana suami tidak ada dirumah istri wajib menjaga harta dan kehormatan suami, akhirnya istri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami.
- Bersyukur atas nafkah yang diterima dan menggunakannya dengan sebaik-baiknya.
- Membantu suami dan mengatur rumah tangga sebaik mungkin
E. Hikmah Pernikahan
Nikah disyariatkan Allah Swt. melalui al-Qurān dan sunah Rasul-Nya, menyerupai dalam uraian di atas, mengandung pesan tersirat yang sangat besar untuk keberlangsungan hidup manusia, di antaranya sebagai berikut.
- Terciptanya korelasi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, dalam ikatan suci yang halal dan diridai Allah Swt.
- Mendapatkan keturunan yang sah dari hasil pernikahan.
- Terpeliharanya kehormatan suami istri dari perbuatan zina.
- Terjalinnya kolaborasi antara suami dan istri dalam mendidik anak dan menjaga kehidupannya.
- Terjalinnya silaturahim antarkeluarga besar pihak suami dan pihak istri.
F. Menerapkan Perilaku Mulia
sikap mulia harus diterapkan dalam kehidupan rumah tangga kita, antara lain sebagai berikut.
- Melaksanakan perintah Allah Swt.. “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak nikah dari hambahamba sahayamu yang perempuan”. (Q.S. an-Nμr/24:32).
- Melaksanakan perintah Rasulullah saw. “Barang siapa yang bisa menikah tetapi tidak menikah, maka dia bukanlah termasuk golonganku”. (¦R. AL- Tabrani dan AL-Baihaqi).
- Memelihara keturunan dan memperbanyak umat. “Nikahilah perempuan yang subur dan sayang anak. Sesungguhnya saya berbangga dengan banyaknya umatku di hari kiamat”. (¦R. Abμ Daud).
- Mencegah masyarakat dari dekadensi moral. “Wahai para perjaka barang siapa yang sudah bisa untuk menikah maka nikahlah, lantaran sebetulnya itu sanggup memelihara pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa belum bisa menikah, hendaklah ia berpuasa, lantaran sebetulnya berpuasa itu sanggup menjadi tameng mengalahkan hawa nafsu”. (¦R. al-Bukhari dan Muslim).
- Mencegah masyarakat dari penyakit-penyakit yang ditimbulkan dari korelasi seksual dengan berganti-ganti pasangan.
- Melahirkan ketenangan jiwa. “Dan di antara gejala kekuasaan-Nya ialah Dia membuat untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kau cenderung dan merasa tentram kepadanya dan Dia jadikan di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat gejala bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. ar-Rμm/30:21;).
- Meniti jalan bertakwa. “Barangsiapa yang Allah Swt. anugerahkan kepadanya seorang perempuan yang shalihah berarti Allah Swt. telah menolongnya menjalani separuh agamanya. Hendaknya ia bertakwa kepada Allah Swt. untuk memelihara separuh yang lainnya”. (¦R. Tabrani).
- Memperkokoh dan memperluas persaudaraan; melalui pernikahan berarti telah menyatukan dua keluarga besar dalam memperkokoh tali persaudaraan.