Teori Mencar Ilmu Van Hiele

TEORI BELAJAR VAN HIELE

Teori Belajar Van Hiele dikembangkan dalam geometri. Van Hiele ialah seorang pengajar matematika Belanda yang telah mengadakan penelitian di lapangan, melalui observasi dan tanya jawab, kemudian hasil penelitiannya ditulis dalam disertasinya pada tahun 1954. Penelitian yang dilakukan Van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri.  Menurut Van  Hiele mterdapat 5 tahap pemahaman geometri  yaitu:  pengenalan,  analisis,  pengurutan,  deduksi, dan akurasi. Berikut ini tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri yang bisa dikembangkan dalam pembelajaran lainnya. 

 ialah seorang pengajar matematika Belanda yang telah mengadakan penelitian di lapangan TEORI BELAJAR VAN HIELE
a) Tahap Visualisasi (Pengenalan)
Pada  tingkat ini,  siswa  memandang  sesuatu  bangun   geometri  sebagai   suatu keseluruhan (holistic). Pada  tingkat  ini  siswa  belum  memperhatikan komponen- komponen dari masing-masing bangun. Dengan  demikian, meskipun pada  tingkat ini siswa  sudah  mengenal  nama  sesuatu bangun, siswa  belum  mengamati ciri-ciri  dari  bangun    itu.  Sebagai  contoh,  pada  tingkat    ini  siswa  tahu  suatu   bangun  bernama  persegipanjang,  tetapi  ia  belum  menyadari  ciri-ciri  berdiri persegipanjang tersebut.

b) Tahap Analisis (Deskriptif)
Pada tingkat  ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri menurut ciri- ciri  dari  masing-masing bangun. Dengan  kata  lain, pada  tingkat  ini  siswa  sudah terbiasa menganalisis  bagian-bagian yang  ada pada suatu berdiri dan mengamati  sifat-sifat    yang  dimiliki  oleh  unsur-unsur  tersebut.  Sebagai  contoh, pada tingkat ini  siswa sudah bisa menyampaikan bahwa suatu berdiri merupakan persegi panjang karena  bangun  itu  “mempunyai  empat  sisi, sisi-sisi  yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku.”

c) Tahap Deduksi Formal (Pengurutan atau Relasional)
Pada  tingkat    ini,  siswa  sudah  bisa  memahami  hubungan  antar    ciri  yang  satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah  bisa  mengatakan  bahwa  jika  pada suatu segiempat  sisi-sisi   yang  berhadapan sejajar, maka  sisi-sisi  yang berhadapan itu sama  panjang. Di samping  itu  pada    tingkat    ini  siswa    sudah    memahami  pelunya    definisi   untuk    tiap-tiap bangun.  Pada    tahap   ini, siswa    juga sudah  bisa   memahami  hubungan  antara  bangun   yang  satu  dengan bangun  yang  lain. Misalnya  pada  tingkat  ini siswa  sudah bisa  memahami  bahwa  setiap persegi ialah juga  persegi panjang, karena   persegi  juga  memiliki  ciri-ciri persegipanjang.

d) Tahap Deduksi
Pada  tingkat  ini (1)  siswa  sudah dapat  mengambil  kesimpulan secara  deduktif, yakni menarik  kesimpulan  dari    hal-hal yang bersifat  khusus,  (2) siswa  bisa memahami pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri, dan (3) siswa sudah mulai  mampu  menyusun bukti-bukti  secara  formal.  Ini  berarti  bahwa  pada  tingkat  ini  siswa  sudah memahami  proses    berpikir  yang  bersifat    deduktif-aksiomatis  dan  mampu  memakai proses berpikir tersebut.

Sebagai  contoh  untuk menunjukkan  bahwa  jumlah  sudut-sudut  dalam jajargenjang  adalah    360°  secara  deduktif    dibuktikan  dengan   menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian secara  induktif  yaitu dengan  memotong-motong sudut-sudut  benda  jajargenjang,  kemudian  setelah  itu  ditunjukkan  semua sudutnya  membentuk  sudut  satu  putaran  penuh  atau  360°  belum  tuntas  dan belum  tentu    tepat.  Seperti  diketahui  bahwa  pengukuran  itu    pada    dasarnya mencari   nilai  yang  paling  dekat  dengan ukuran yang sebenarnya. Jadi, mungkin  saja dapat  keliru  dalam  mengukur sudut- sudut  jajargenjang tersebut. Untuk itu pembuktian secara  deduktif  merupakan cara yang sempurna dalam pembuktian pada matematika.

Anak pada  tahap  ini telah  mengerti pentingnya peranan unsur-unsur  yang  tidak didefinisikan,    di  samping    unsur-unsur  yang    didefinisikan,    aksioma    atau problem,  dan    teorema.  Anak  pada    tahap    ini  belum    memahami  kegunaan dari  suatu    sistem  deduktif.  Oleh  karena    itu,  anak  pada    tahap    ini  belum  dapat  menjawab  pertanyaan:  “mengapa  sesuatu  itu  perlu  disajikan  dalam bentuk teorema atau dalil?”

e) Tahap Akurasi (tingkat metamatematis atau keakuratan)
Pada tingkat  ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip- prinsip  dasar  yang  melandasi  suatu  pembuktian.  Sudah  memahami  mengapa sesuatu  itu  dijadikan  postulat  atau  dalil.  Dalam  matematika  kita  tahu  bahwa betapa  pentingnya  suatu  sistem  deduktif.  Tahap  keakuratan  merupakan  tahap tertinggi dalam memahami geometri.

Pada tahap ini memerlukan  tahap   berpikir  yang  kompleks  dan rumit, siswa mampu  melaksanakan penalaran  secara  formal   tentang  sistem-sistem  matematika (termasuk  sistem-sistem  geometri), tanpa membutuhkan  model-model  yang positif sebagai acuan. Pada  tingkat  ini, siswa  memahami bahwa  dimungkinkan adanya    lebih    dari  satu    geometri.  Sebagai  contoh,  pada    tingkat    ini  siswa  menyadari bahwa  jikalau salah satu  aksioma  pada  suatu  sistem  geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut  juga  akan   berubah.  Sehingga,  pada   tahap   ini siswa sudah  memahami adanya  geometri-geometri  yang  lain  di  samping geometri Euclides.

Selain  mengemukakan  mengenai    tahap-tahap  perkembangan  kognitif  dalam memahami geometri, van  Hiele  juga  mengemukakan bahwa  terdapat tiga  unsur yang  utama  pembelajaran  geometri  yaitu  waktu,  materi  pembelajaran  dan metode  penyusun  yang  apabila  dikelola  secara  terpadu  dapat    menjadikan meningkatnya  kemampuan  berpikir  anak  kepada  tahap yang lebih   tinggi   dari   tahap   yang sebelumnya.

Menurut  Van  Hiele,  semua   anak  mempelajari  geometri  dengan    melalui  tahap-tahap  tersebut,  dengan    urutan  yang  sama,  dan    tidak    dimungkinkan  adanya  tingkat yang  diloncati.  Akan  tetapi,  kapan    seseorang  siswa  mulai   memasuki suatu tingkat  yang  baru  tidak    selalu  sama   antara  siswa  yang  satu   dengan  siswa  yang  lain. Proses perkembangan dari tahap yang satu ke tahap berikutnya terutama  tidak  ditentukan  oleh  umur  atau   kematangan  biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari guru  dan proses  belajar  yang dilalui siswa. Bila dua  orang    yang  mempunyai  tahap  berpikir  berlainan  satu  sama lain, kemudian saling  bertukar pikiran  maka  kedua orang tersebut tidak akan mengerti.

Menurut   Van  Hiele  seorang  anak yang  berada pada  tingkat  yang  lebih rendah tidak  mungkin dapat   mengerti  atau memahami  bahan yang berada pada tingkat   yang  lebih  tinggi  dari  anak tersebut. Kalaupun anak itu dipaksakan untuk memahaminya,  anak    itu    gres bisa memahami melalui    hafalan  saja  bukan melalui pengertian.  Adapun  fase-fase pembelajaran yang  memperlihatkan tujuan belajar  siswa dan tugas guru   dalam   pembelajaran  dalam  mencapai tujuan itu. Fase-fase pembelajaran tersebut  adalah: 1)  fase informasi, 2) fase orientasi,  3) fase  eksplisitasi,  4)   fase orientasi  bebas,  dan 5)  fase  integrasi. 

Berdasar  hasil  penelitian  di  beberapa  negara,  tingkatan  dari  Van Hiele  mempunyai kegunaan untuk menggambarkan  perkembangan  konsep  geometrik  siswa  dari  SD  hingga Perguruan Tinggi.

Van  de  Walle  (1990:270)  membuat  deskripsi  aktivitas  yang  lebih  sederhana dibandingkan  dengan   deskripsi  yang  dibuat   Crowley.  Menurut   Van  de  Walle aktivitas  pembelajaran untuk masing-masing tiga tahap pertama adalah:

a.  Aktivitas tahap 1 (visualisasi)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1)  Melibatkan penggunaan model fisik yang dapat  digunakan  untuk memanipulasi.
2)  Melibatkan  berbagai  contoh  bangun-bangun  yang  bervariasi  dan berbeda sehingga sifat yang tidak relevan sanggup diabaikan.
3) Melibatkan  kegiatan  memilih,  mengidentifikasi  dan  mendeskripsikan berbagai  bangun, dan
4) Menyediakan kesempatan  untuk membentuk,  membuat, menggambar, menyusun atau menggunting bangun.

b.  Aktivitas tahap 2 (analisis)  
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1)  Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama  model-model yang sanggup dipakai untuk mendeskripsikan berbagai  sifat bangun.
2)  Mulai lebih menfokuskan pada sifat-sifat dari pada sekedar identifikasi
3) Mengklasifikasi berdiri berdasar sifat-sifatnya menurut nama berdiri tersebut.
4)  Menggunakan  pemecahan problem yang melibatkan sifat-sifat bangun.

c.  Aktivitas tahap 3 (deduksi informal)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1)  Melanjutkan pengklasifikasian model dengan fokus  pada  pendefinisian sifat,  menciptakan daftar sifat dan mendiskusikan sifat yang perlu dan cukup untuk kondisi suatu berdiri atau konsep.
2)  Memuat penggunaan bahasa yang bersifat deduktif  informal, contohnya semua, suatu, dan jikalau – maka, serta mengamati validitas konversi  suatu relasi.
3)  Menggunakan  model  dan  gambar  sebagai  sarana  untuk  berpikir  dan mulai mencari generalisasi atau kontra





= Baca Juga =



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel