Pengertian Ciri Dan Jenis Kecerdasan Emosional
Pengertian Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Emosional
Emosi berasal dari perkataan emotus atau emovere, yang artinya mencerca “to strip up”, yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, emosi sanggup diartikan sebagai: 1) luapan perasaan yang berkembang dan surut diwaktu singkat; 2) keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis, ibarat kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan, keberanian yang bersifat subyektif.
Crow & Crow (Efendi dan Praja, 1985:81) mengatakan, bahwa emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi atau berperan sebagai inner adjustment, atau pembiasaan dari dalam terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu tersebut.
Crow & Crow (Efendi dan Praja, 1985:81) mengatakan, bahwa emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi atau berperan sebagai inner adjustment, atau pembiasaan dari dalam terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu tersebut.
W. James dan Carl Lange (Efendi dan Praja, 1985:82) mengatakan, bahwa emosi ditimbulkan lantaran adanya perubahan-perubahan pada sistem vasomater “otak-otak” atau perubahan jasmaniah individu. Misalnya, individu merasa senang, lantaran ia tertawa bukan tertawa lantaran senang, dan murung lantaran menangis. Menurut Harvey Carr, bahwa emosi ialah pembiasaan organis yang timbul secara otomatis pada insan dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Misalnya, emosi murka timbul kalau organisme dihadapkan pada rintangan yang menghambat kebebasannya untuk bergerak, sehingga semua tenaga dan daya dikerahkan untuk mengatasi rintangan itu dengan diiringi oleh gejala-gejala ibarat denyut jantung yang meninggi, pernafasan semakin cepat, dan sebagainya.
============================================
============================================
Sedangkan berdasarkan W.B. Cannon, bahwa emosi ialah reaksi yang diberikan oleh organisme dalam situasi emergency “darurat”. Teori emergency, didasarkan pada pendapat bahwa ada antagonisme (fungsi yang bertentangan) antara saraf-saraf simpatis dengan cabang-cabang oranial dan sacral daripada susunan syaraf otonom. Jadi, apabila saraf-saraf simpatis aktif, maka saraf otonom non aktif, dan demikian sebaliknya.
Dari ungkapan teori di atas, maka sanggup disimpulkan bahwa emosi ialah merupakan warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau sikap individu. Yang dimaksud warna afektif, ialah perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada ketika menghadapi situasi tertentu, contohnya gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci (tidak senang), iri, cemburu, dan sebagainya.
Apabila ditinjau dari psikologi analisa, maka emosi sanggup dijelaskan secara berbeda-beda, lantaran ada dua hal yang mendasari pengertian emosi berdasarkan psikologi analisa, yaitu:
a. Naluri kelamin “sexual instinct”, yang oleh Freud disebut juga “libido”, yaitu merupakan motif utama dan mendasar yang menjadi tenaga pendorong pada bayi-bayi gres lahir.
b. Naluri terdapat pada ego, ini ialah lawan dari libido, yang menganut prinsip kenyataan, lantaran mengawasi dan menguasai libido dalam batas-batas yang sanggup diterima oleh lingkungan. Di lain pihak ego juga berusaha merumuskan libidonya, prinsip ini terdapat pada orang-orang yang sudah lebih dewasa.
Dalam rangka inilah, Freud membuatkan doktrinnya mengenai emosi, yang kemudian dibatasinya hanya pada kecemasan “anxiety”, sebagai salah satu bentuk emosi yang sangat penting dalam teori psikoanalisa. Anxiety timbul lantaran kontradiksi antara kedua prinsip tadi, yaitu prinsip kesenangan “libido” dan prinsip kenyataan. Dan macam-macam anxiety, ialah sebagai berikut:
a. Obyektive anxiety. Ini timbul lantaran akhir lemahnya ego terhadap ide, lantaran semenjak lahir seorang individu telah dihadapkan kepada keadaan obyektif yang bersifat menekan. Obyektive anxiety yang primer ialah trauma kelahiran, yang merupakan dasar bagi timbulnya obyektive anxiety lainnya (skunder dan seterusnya).
b. Neurotic anxiety. Ini timbul dari obyektive anxiety, khususnya timbul lantaran perasaan takut terhadap akhir yang mungkin timbul bilamana tuntutan libido dipenuhi, terlebih lagi kalau akhir itu punya arti sosial. Neurotic anxiety, mempunyai dua bentuk, yaitu:
1) Free-floating anxiety, yaitu suatu keadaan cemas di mana individu selalu menantikan sesuatu yang paling jelek yang mungkin terjadi, karenanya ia akan selalu berada dalam keadaan cemas takut menghadapi akhir yang jelek dalam situasi yang tidak menentu.
2) Phobia, di sini obyek yang ditakuti jelas, hanya alasan-alasannya mengapa individu takut tidak jelas.
c. Moral anxiety. Kecemasan ini timbul dari akhir lemahnya ego terhadap super ego. Super ego berkembang lantaran larangan-larangan dan pembatasan-pembatasan moril yang berasal dari orang renta dan lingkungan, dengan kata lain, sumber dari moral anxiety ialah obyek, yaitu takut kehilangan kasih sayang, dukungan, good-will dari orang renta maupun orang lain dalam masyarakat. Juga moral anxiety, timbul lantaran perasaan takut mendapat eksekusi dari orang renta atau masyarakat.
CT. Morgan, bahwa terdapat beberapa aspek-aspek emosi, yaitu bahwa:
a. Emosi ialah sesuatu yang sangat dekat hubungannya dengan kondisi tubuh, contohnya denyut jantung, sirkulasi darah, dan pernafasan.
b. Emosi ialah sesuatu yang dilakukan atau diekspresikan, contohnya tertawa, tersenyum, menangis.
c. Emosi ialah sesuatu yang dirasakan, contohnya merasa jengkel, kecewa, senang.
d. Emosi juga merupakan suatu motif, alasannya ialah ia mendorong individu untuk berbuat sesuatu, kalau individu itu beremosi, senang, atau mencegah melaksanakan sesuatu kalau ia tidak senang.
Oleh lantaran itu, apabila seseorang sudah sanggup memanage, mengawasi, mengontrol, dan mengatur emosinya dengan tepat, baik ketika orang tersebut berhadapan dengan pribadinya, berhadapan dengan orang lain, orang tua, teman-teman, atau masyarakat, berhadapan dengan pekerjaan, atau masalah-masalah yang muncul, maka orang tersebut sudah sanggup dikatakan mempunyai kecerdasan emosional. Karena kecerdasan emosional ialah potensi yang dimiliki seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Menurut Devies dan rekan-rekannya, bahwa kecerdasan emosional ialah kemampuan seseorang untuk mengendalikan dirinya sendiri dan orang lain, dan memakai gosip tersebut untuk menuntun proses berpikir serta sikap seseorang. Adapun Eko Maulana Ali Suroso (2004:127) mengatakan, bahwa kecerdasan emosional ialah sebagai serangkaian kecakapan untuk memahami bahwa pengendalian emosi sanggup melapangkan jalan untuk memecahkan duduk masalah yang dihadapi.
Kecerdasan emosi merupakan kapasitas manusiawi yang dimiliki oleh seseorang dan sangat berkhasiat untuk menghadapi, memperkuat diri, atau mengubah kondisi kehidupan yang tidak menyenangkan menjadi suatu hal yang masuk akal untuk diatasi.
Kecerdasan emosional meliputi pengendalian diri, semangat dan ketekunan, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, dan tenggang rasa pada perasaan orang lain. Orang yang cerdas emosinya, akan menampakkan kematangan dalam pribadinya serta kondisi emosionalnya dalam keadaan terkontrol. Kecerdasan emosional merupakan daya dorong yang memotivasi kita untuk mencari manfaat dan potensi, dan mengaktifkan aspirasi nilai-nilai kita yang paling dalam “inner beauty”, mengubahnya dari apa yang dipikirkan menjadi apa yang kita jalani.
Jadi, kecerdasan emosional ialah adonan dari semua emosional dan kemampuan sosial untuk menghadapi seluruh aspek kehidupan manusia. Kemampuan emosional meliputi, sadar akan kemampuan emosi diri sendiri, kemampuan mengelola emosi, kemampuan memotivasi diri, kemampuan menyatakan perasaan orang lain, dan pandai menjalin kekerabatan dengan orang lain. Kemampuan ini, merupakan kemampuan yang unik yang terdapat di dalam diri seseorang, karenanya hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kemampuan psikologi seseorang. Dan apabila kemampuan untuk memahami dan mengendalikan emosi siswa dalam mencar ilmu sudah baik, maka hal itu akan menumbuhkan semangat, motivasi, dan minat untuk mencar ilmu pada diri siswa.
Menurut JB. Waston, bahwa intinya insan mempunyai tiga emosi dasar, yaitu:
a) Fear “takut”, yang dalam perkembangan selanjutnya bisa menjadi anxiety “cemas”.
b) Rage “kemarahan”, yang akan berkembang antara lain menjadi anger “marah”.
c) Love “cinta”, yang akan bermetamorfosis simpati.
Sedangkan berdasarkan R. Descartes sebagaimana dikutip oleh E. Usman Efendi dan Juhaya S. Praja, bahwa emosi-emosi dasar yang terdapat pada insan sebanyak enam macam, yaitu:
a) Desire “keinginan”
b) Hate “benci”
c) Wonder “kagum”
d) Sorrow “kesedihan”
e) Love “cinta”
f) Joy “kegembiraan”.
Emosi sebagai suatu insiden psikologis, mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
a) Lebih bersifat subyektif daripada insiden psikologis lainnya, ibarat pengamatan dan berpikir.
a) Bersifat tidak tetap (fluktuatif).
b) Banyak berkaitan dengan insiden pengenalan panca indera.
c) Berlansung singkat dan berakhir tiba-tiba.
d) Terlihat lebih berpengaruh dan hebat.
e) Bersifat sementara dan dangkal.
f) Lebih sering terjadi.
g) Dapat diketahui dengan terperinci dari tingkah lakunya.
Sedangkan pendapat lain mengatakan, bahwa ciri-ciri utama dari pikiran-pikiran emosional, ialah sebagai berikut:
a) Respon yang cepat tetapi ceroboh.
b) Pertama ialah perasaan, kedua pemikiran.
c) Realitas simbolik yang ibarat anak-anak.
d) Masa lampau yang diposisikan masa sekarang.
e) Realitas yang ditentukan oleh keadaan.
Kecerdasan Emosional |
Emosi sanggup dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu emosi sensoris dan kejiwaan (psikis), yaitu sebagai berikut:
1) Emosi sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, ibarat rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar.
2) Emosi psikis, yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan. Yang termasuk emosi ini, di antaranya adalah:
3) Perasaan intelektual, yaitu yang mempunyai hubungannya dengan ruang lingkup kebenaran.
4) Perasaan sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungannya dengan orang lain, baik bersifat perorangan maupun kelompok.
5) Perasaan susila, yaitu perasaan yang bekerjasama dengan nilai-nilai baik dan jelek atau etika.
6) Perasaan keindahan (estetika), yaitu perasaan yang berkaitan dekat dengan keindahan dari sesuatu, baik bersifat kebendaan atau kerohanian.
7) Perasaan ketuhanan, yaitu salah satu kelebihan insan sebagai makhluk Tuhan, dianugerahi fitrah (kemampuan atau perasaan) untuk mengenal Tuhannya.
Dalam menelaah kompetensi seseorang yang didasarkan pada tingkat kecerdasan emosional, maka sanggup dikelompokkan ke dalam empat dimensi, yaitu:
1. Kesadaran diri sendiri
Kemampuan seseorang sangat tergantung kepada kesadaran dirinya sendiri, juga sangat tergantung kepada pengendalian emosionalnya. Apabila seseorang sanggup mengendalikan emosinya dengan sebaik-baiknya, memanfaatkan prosedur berpikir yang tersistem dan kontruksi dalam otaknya, maka orang tersebut akan bisa mengendalikan emosinya sendiri dan menilai kapasitas dirinya sendiri. Orang dengan kesadaran diri yang tinggi, akan memahami betul ihwal impian, tujuan, dan nilai yang melandasi sikap hidupnya.
Apabila seseorang telah mengetahui akan dirinya sendiri, maka akan muncul pada dirinya kesadaran akan emosinya sendiri, evaluasi terhadap dirinya secara akurat, dan percaya akan dirinya sendiri.
2. Pengelolaan diri sendiri
Seseorang, sebelum mengetahui atau menguasai orang lain, ia harus terlebih dahulu bisa memimpin atau menguasai dirinya sendiri. Orang tersebut harus tahu tingkat emosional, keunggulan, dan kelemahan dirinya sendiri. Apabila tingkat emosional tidak disadari, maka orang tersebut akan selalu bertindak mengikuti dinamika emosinya. Manakala kebetulan resonansi yang dipancarkan dari amygdale-nya, maka gelombang positif yang sanggup ditangkap oleh orang lain secara efektif, dan komunikasi pun sanggup berjalan dengan baik. Tetapi manakala yang terpancar dari amygdale-nya disonansi, maka yang sanggup ditangkap oleh orang lain hanyalah kemarahan dan emosional yang tak terkendali, akhirnya komunikasi tidak berjalan dengan baik.
Untuk membuat tingkat kompetensi pengelolaan diri sendiri yang tinggi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu pengontrolan terhadap diri sendiri, transparansi, pembiasaan diri, pencapaian prestasi, inisiatif, dan optimistis.
3. Kesadaran sosial
Sebagai makhluk sosial, kita harus dan selalu bekerjasama dan bergesekan dengan orang lain, baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat, lantaran kita tidak akan sanggup hidup sendiri tanpa orang lain.
Oleh lantaran itu, semua orang harus mempunyai kesadaran sosial, dan apabila seseorang telah mempunyai kesadaran sosial, maka dalam dirinya akan muncul empati, kesadaran, dan pelayanan.
Manajemen kekerabatan sosial
Apabila seseorang telah mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengendalikan secara efektif emosionalnya, memanage dirinya sendiri, dan mempunyai kesadaran sosial yang tinggi, maka perlu satu langkah lagi, yaitu bagaimana memanage kekerabatan sosial yang telah berhasil dibangun semoga sanggup bertahan bahkan berkembang lebih baik lagi. Hal ini, yang disebut sebagai administrasi kekerabatan sosial. Jadi, administrasi kekerabatan sosial merupakan muara dari derajat kompetensi emosional dan intelegensi.
Dalam rangka memanage kekerabatan sosial tersebut, seseorang harus mempunyai kemampuan sebagai inspirator, mempengaruhi orang lain, membangun kapasitas, katalisator perubahan, kemampuan memanage konflik, dan mendorong kerjasama yang baik dengan orang lain atau masyarakat.
Norman Rosenthal, MD, bukunya yang berjudul “The Emotional Revolution”, menjelaskan cara untuk meningkatkan kecerdasan emosional, yaitu
1) Coba rasakan dan pahami perasaan anda. Jika perasaan tidak nyaman, kita mungkin ingin menghindari lantaran mengganggu. Duduklah, setidaknya dua kali sehari dan bertanya, “Bagaimana perasaan saya?” mungkin memerlukan waktu sedikit untuk merasakannya. Tempatkan diri Anda di ruang yang nyaman dan terhindar dari gangguan luar.
2) Jangan menilai atau mengubah perasaan Anda terlalu cepat. Cobalah untuk tidak mengabaikan perasaan Anda sebelum Anda mempunyai kesempatan untuk memikirkannya. Emosi yang sehat sering naik dan turun dalam sebuah gelombang, meningkat hingga memuncak, dan menurun secara alami. Tujuannya ialah jangan memotong gelombang perasaan Anda sebelum hingga puncak.
3) Lihat bila Anda menemukan kekerabatan antara perasaan Anda ketika ini dengan perasaan yang sama di masa lalu. Ketika perasaan yang sulit muncul, tanyakan pada diri sendiri, “Kapan saya mencicipi perasaan ini sebelumnya?” Melakukan cari ini sanggup membantu Anda untuk menyadari bila emosi ketika ini ialah cerminan dari situasi ketika ini, atau insiden di masa kemudian Anda.
4) Hubungkan perasaan Anda dengan pikiran Anda. Ketika Anda merasa ada sesuatu yang menyerang dengan luar biasa, coba untuk selalu bertanya, “Apa yang saya pikirkan ihwal itu?” Sering kali, salah satu dari perasaan kita akan bertentangan dengan pikiran. Itu normal. Mendengarkan perasaan Anda ialah ibarat mendengarkan semua saksi dalam masalah persidangan. Hanya dengan mengakui semua bukti, Anda akan sanggup mencapai keputusan terbaik.
5) Dengarkan badan Anda. Pusing di kepala ketika bekerja mungkin merupakan petunjuk bahwa pekerjaan Anda ialah sumber stres. Sebuah detak jantung yang cepat ketika Anda akan menemui seorang gadis dan mengajaknya berkencan, mungkin merupakan petunjuk bahwa ini akan menjadi “sebuah hal yang nyata.” Dengarkan badan Anda dengan sensasi dan perasaan, bahwa sinyal mereka memungkinkan Anda untuk mendapat kekuatan nalar.
6) Jika Anda tidak tahu bagaimana perasaan Anda, mintalah proteksi orang lain. Banyak orang jarang menyadari bahwa orang lain sanggup menilai bagaimana perasaan kita. Mintalah seseorang yang kenal dengan Anda (dan yang Anda percaya) bagaimana mereka melihat perasaan Anda. Anda akan menemukan tanggapan yang mengejutkan, baik dan mencerahkan.
7) Masuk ke alam bawah sadar Anda. Bagaimana Anda lebih menyadari perasaan bawah sadar Anda? Coba asosiasi bebas. Dalam keadaan santai, biarkan pikiran Anda berkeliaran dengan bebas. Anda juga bisa melaksanakan analisis mimpi. Jauhkan notebook dan pena di sisi daerah tidur Anda dan mulai menuliskan cita-cita Anda segera sesudah Anda bangun. Berikan perhatian khusus pada mimpi yang terjadi berulang-ulang atau mimpi yang melibatkan kuatnya beban emosi.
8) Tanyakan pada diri Anda: Apa yang saya rasakan ketika ini. Mulailah dengan menilai besarnya kesejahteraan yang anda rasakan pada skala 0 dan 100 dan menuliskannya dalam buku harian. Jika perasaan Anda terlihat ekstrim pada suatu hari, luangkan waktu satu atau dua menit untuk memikirkan kekerabatan antara pikiran dengan perasaan Anda.
9) Tulislah pikiran dan perasaan Anda ketika sedang menurun. Sebuah penelitian menawarkan bahwa dengan menuliskan pikiran dan perasaan sanggup sangat membantu mengenal emosi Anda. Sebuah latihan sederhana ibarat ini sanggup dilakukan beberapa jam per minggu.
10) Tahu kapan waktu untuk kembali melihat keluar. Ada saatnya untuk berhenti melihat ke dalam diri Anda dan mengalihkan fokus Anda ke luar. Kecerdasan emosional tidak hanya melibatkan kemampuan untuk melihat ke dalam, tetapi juga untuk hadir di dunia sekitar Anda.
Menurut Goleman terdapat dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu: Faktor internal, yakni faktor yang timbul dari dalam diri individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang. Otak emosional dipengaruhi oleh amygdala, neokorteks, sistem limbik, lobus prrefrontal dan hal-hal yang berada pada otak emosional, dan Faktor Eksternal yakni faktor yang tiba dari luar individu dan mempengaruhi atau mengubah sikap imbas luar yang bersifat individu sanggup secara perorangan, secara kelompok, antara individu dipengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga sanggup bersifat tidak pribadi yaitu melalui mediator contohnya media massa baik cetak maupun elektronik serta gosip yang canggih lewat jasa satelit.
Sedangkan berdasarkan Agustian (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu: faktor psikologis, faktor training emosi dan faktor pendidikan
1) Faktor psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi semoga termanifestasi dalam sikap secara efektif. Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosi dekat kaitannya dengan keadaan otak emosional. Bagian otak yang mengurusi emosi ialah sistem limbik. Sistem limbik terletak jauh dalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan impuls. Peningkatan kecerdasan emosi secara fisiologis sanggup dilakukan dengan puasa. Puasa tidak hanya mengendalikan dorongan fisiologis manusia, namun juga bisa mengendalikan kekuasaan impuls emosi. Puasa yang dimaksud salah satunya yaitu puasa sunah Senin Kamis.
2) Faktor training emosi
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan membuat kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan bermetamorfosis suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul begitu saja tanpa dilatih. Melalui puasa sunah Senin Kamis, dorongan, keinginan, maupun reaksi emosional yang negatif dilatih semoga tidak dilampiaskan begitu saja sehingga bisa menjaga tujuan dari puasa itu sendiri. Kejernihan hati yang terbentuk melalui puasa sunah Senin Kamis akan menghadirkan bunyi hati yang jernih sebagai landasan penting bagi pembangunan kecerdasan emosi.
3) Faktor pendidikan
Pendidikan sanggup menjadi salah satu sarana mencar ilmu individu untuk membuatkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan aneka macam bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan. Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah dilarang hanya menekankan pada kecerdasan akademik saja, memisahkan kehidupan dunia dan akhirat, serta menimbulkan anutan agama sebagai ritual saja. Pelaksanaan puasa sunah Senin Kamis yang berulang-ulang sanggup membentuk pengalaman keagamaan yang memunculkan kecerdasan emosi. Puasa sunah Senin Kamis bisa mendidik individu untuk mempunyai kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, kepercayaan, peguasaan diri atau sinergi, sebagai bab dari pondasi kecerdasan emosi
Pustaka
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996)
Agustian, A. G. 2007. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ: Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: ARGA Publishing
E. Usman Efendi dan Juhaya S. Praja, Pengantar Psikologi, (Bandung: Angkasa, 1985)
Eko Maulana Ali Suroso, Kepemimpinan Integratif Berbasis ESQ, (Jakarta: Bars Media Komunikasi, 2004)
Nggermanto, A. 2002. Quantum Quotient (Kecerdasan Quantum): Cara Cepat Melejitkan IQ, EQ dan SQ Secara Harmonis. Bandung: Penerbit Nuansa.